(Judul tidak mencerminkan isi)
Paragraf pertama berlogika “Saya bukan ahli agama”
Paragraf kedua berlogika “Walau begitu saya berusaha taat dengan
semua ilmu agama yang saya punya.”
Paragraf berikutnya penulis menyampaikan hadist taat pada ulil
amri dan berlogika “asal tidak maksiat” harus ditaati (kunci yang dia bawa
hanya pada asal tidak maksiat, dia ga bahas ulil amri itu rukun dan syaratnya
gimana.) padahal taat dengan siapa tidak taat dengan siapa lebih penting dalam
kehidupan. Untuk apa anda taat pada bos orang, iya kan?
Pada paragraf selanjutnya penulis membahas bahwa Peraturan lalin
bukan mengajak pada maksiat maka saya wajib taat (disini logikanya sudah salah,
polisi bukan ulil amri, kalau mau taat UU LLAJ no 22 thn 2009 bukan ini
dalilnya, ada banyak dalil muamalah dengan pemerintah)
Memakai jilbab dengan memakai helm itu sama hukumnya (berangkat
dari logika yang memang sudah salah, jadinya premis kali ini juga salah). Hukum
menjaga keselamatan diri sendiri itu banyak hukumnya ada ayatnya malah, tapi
hukum memakai helm itu ga bisa serta merta setara dengan memakai jilbab. Ya
karena memang beda. Dan memakai helm itu kesadaran pribadi, saya sendiri selalu
berusaha memakai helm sampai saya punya helm lebih dari kebutuhan, dan selalu
menggunakan helm karena kesadaran diri terhadap keselamatan. Kalau mau sadar
diri terhadap keselamatan maka anda harus kenal dengan kecelakaan. (belajar K3L
lebih jauh untuk hal ini). Walau jilbab dengan helm jika mau dilogikakan akan
masuk tapi tidak dari sini jalannya.
Lalu penulis membawa pengalamannya hidup dijepang. Dengan premis “karena saya taat hukum saya membuat ijin khusus kerja paruh waktu”
Pada paragraf kali ini logika penulis mulai kacau penulis
kebingungan dengan kenyataan bahwa pemerintah jepang yang tertib itu bukan
muslim, saya tidak tahu apakah ada logika dalam pikirannya bahwa setiap muslim
maka tertib. Ini logika yang keliru menurut saya karena pendapat saya “setiap
muslim yang baik itu yang belajar menjadi tertib” dan proses itulah yang
membuat seseorang lebih muslim dari yang lain, yang berusaha lebih. Dan logika
yang dibawa masih ulil amri. Siapa orang jepang siapa mereka? Sehingga harus
ditaati sebagai seorang muslim?
Pada paragraf berikutnya penulis meminta maaf karena mungkin
akan menyinggung beberapa ulama, tapi malah beliau melakukan fithnah, dengan
asumsi otak sendiri bahwa ulama mengajarkan untuk tidak patuh dengan ulil amri.
Siapa ulama yang tidak mengajarkan kepatuhan pada ulil amri? Lalu ulama mana
yang naik motor tidak pakai helm?
Kalau pernyataan soal ustadz yang tidak melaporkan hartanya
karena saya tidak tahu saya tidak akan komen, tapi premis penulis adalah
“beberapa ustadz tidak melaporkan hartanya sampai tax amnesty, beberapa ustadz
memebawa uang tunai keluar negri, beberapa ustadz dapat uang ceramah dengan
visa tour” untuk logika ini saya tidak mengomentari karena saya tidak pernah
menyaksikan dan secara probabilitas ada kemungkinan hal ini terjadi.
Logika berikutnya yang menarik “Ada yang mengajarkan bahwa
berbagai aturan buatan manusia itu tidak wajib dipatuhi. Terlebih bila manusia
itu adalah orang kafir. Sayang sekali.” Saya tahu hal ini adalah ajaran yang
disampaikan salah satu ormas sebut saja HTI.
Kesimpulannya jadi lebih menarik jika anda membaca dengan
mengangguk angguk iya bener juga “Tapi saya tak bisa mengoreksi mereka, karena
ilmu mereka lebih banyak. Mereka lebih tahu.” Dengan logika ustadz pasti
ilmunya lebih banyak lalu menarik kesimpulan “Cuma saya jadi sadar, “ padahal penulis baru
setengah sadar menurut singkat saya “bahwa pengetahuan tidak otomatis
menjadikan orang lebih baik.” Logika dari mana kemudian muncul premis
-pengetahuan menjadikan orang otomatis lebih baik-.
Dari sini penulis ingin membenturkan kebaikan dengan ustadz yang
berilmu, tapi logikanya tidak ada yang bersambung.
Saran dari saya kepada penulis, bahwa ilmu yang seikit itu baik
jika diamalkan, tapi ilmu yang sedikit itu jangan digunakan untuk menilai baik
tidaknya orang, apalagi membawa stereotype. Beberapa stereotype akan merasa
tersinggung. Lebih baik perbanyak mencari ilmu, ada adab mencari ilmu yang
sedari dulu dilakukan para ulama pelajari ilmu sebelum beramal, pelajari adab
sebelum memepelajari ilmu. Jika anda benar-benar memahami kaidah ini anda baru
akan mengerti beratnya mengaji. Saya sendiri saja belum selesai belajar adab.
Muslim Urakan
“Saya bukan ahli agama”
“Walau begitu saya
berusaha taat dengan semua ilmu agama yang saya punya.”
“asal tidak disuruh maksiat, siapa saja harus ditaati, ini kata
nabi”
“UU LAJ no 22 thn 2009 harus ditaati karena tidak menyuruh
maksiat”
“beberapa jilbaber tidak memakai helm, seharusnya semua jilbaber
memakai helm karena UU LLAJ harus ditaati karena tidak mengajak maksiat”
“karena saya taat hukum saya membuat ijin khusus kerja paruh
waktu dijepang, saya contoh orang taat hukum siapa saja”
“meski pemerintah jepang bukan muslim mereka menertibkan
rakyatnya”
“beberapa ustadz tidak memakai helm dan mengajarkan tidak memakai
helm”
“beberapa ustadz tidak
melaporkan hartanya sampai tax amnesty, beberapa ustadz memebawa uang tunai
keluar negri, beberapa ustadz dapat uang ceramah dengan visa tour
“Ada yang mengajarkan
bahwa berbagai aturan buatan manusia itu tidak wajib dipatuhi. Terlebih bila
manusia itu adalah orang kafir. Sayang sekali.”
“saya tidak berhak mengoreksi mereka mereka lebih tahu mereka
banyak ilmu”
Tapi
“bahwa pengetahuan tidak otomatis
menjadikan orang lebih baik.”
Secara pendek logikanya begitu tanpa saya komentari, silahkan
nilai semua premis bernilai benar atau tidak. Tapi lihat apa ada korelasi
dengan kesimpulan? Karena premis pertama saja sudah merusak semua premis
berikutnya.
Komentar