Hari ini saya
ingin sekali menulis bebas, seperti saran dari seorang bloger yang sudahterkenal. Beliau mengatakan hanya dengan kerja keras dan konsistensi (ikhsan
dan istiqamah) cukup dengan dua itu kita pasti bisa jadi blogger terkenal.
Dalam pendapat saya kita bisa menjadi ahli dibidang apapun, ya apapunnya bukan
kita bisa semuanya tapi bisa satu keahlian apapun itu asal konsisten dan
sungguh-sungguh. Lalu yang menjaga kita agar tetap konsisten dan bekerja keras terus
menerus adalan visi, pandangan kita kedepan kita ingin menjadi apa. Jujur visi
hidup saya ini sederhana, menghidupkan agama Allah. Menjadi penyambung risalah
yang dibawakan rasulullah. Ya, islamisme sudah begitu mengental dalam pola
berfikir saya. Tapi jangan takut saya bukan tipe orang yang suka bom-mengebom,
apalagi bom bunih diri, orang bunuh diri saja sudah dosa besar dan pasti masuk
neraka kan.
Namun, sedari
dulu saya sadar dalam rangka mewujudkan visi saya ini memang tidak bisa dalam
sekejap. Bahkan bisa jadi sampai tiga generasi keturunan saya baru bisa
terwujud mimpi saya tersebut. Namun, hasil dari amal (perbuatan) saya itu
tidaklah penting dimata Allah, proses yang lebih penting. Jika anda ragu dengan
pola pikir saya cari saja dasar logikanya banyak ayat Al Quran dan sunnah
rasulullah yang mendasarinya. Tapi memang hasil adalah kerangka muhasabah,
apakah langkah saya sudah benar atau masih keliru. Sama seperti yang dikatakan
sholahudin al ayubi “seberapa banyak orang sebelumku yang melakukan pembebasan
ini? dan seberapa banyak yang berhasil?” Sholahudin melakukan pembebasan
palestina (baitul maqdis) itu dengan penuh persiapan mulai dari pembenahan
pemerintah, pembenahan akhlak masyarakatnya, dan pelatihan militer yang begitu
bersungguh-sungguh, mempelajari strategy dan taktik perang khalid ibn walid, ya
semuanya perlu persiapan yang matang lah.
Berikutnya mari kita tinjau mengenai opportunity cost, atau opportuity
lost. Setelah saya baca di blog seorang yang juga saya kira sudah terkenal di
dunia perblogan di indonesia. Jika kita baca dengan seksama memang dasarnya
hidup kita ini penuh dengan opportunity cost tersebut. Kalau saya sendiri
menyatakannya dalam frasa “hidup adalah pilihan”. Pernah saya membaca sebuah
manga yang saya lupa judulnya, yang pelajaran dari ceritanya seperti ini.
Bahwa seorang
manusia hidup itu penuh dengan pilihan. Pada awalnya manusia memiliki
kemungkinan yang jumlahnya tak terhingga, jumlah yang tak terhingga ini membuat
manusia tersebut memiliki masa depan yang tak terhingga. Jadi kalau dibilang
seseorang orang ini (saat baru lahir) akan sukses dan menjadi orang ter ter (terkaya
misalnya) sedunia bisa saja. Namun, semua kemungkinan ini semakin sedikit
ketika si orang tua memilihkan sesuatu untuk anaknya. Semua hal ini terjadi
karena orang tua memilihkan satu dari dua atau beberapa kemungkinan. Misal,
contoh kasusnya memberikan bubur instan kepada bayi ( kalau jaman dulu pisang )
saat anak belum sampai umur 3 bulan, hal ini membuat anak memiliki sistem
pencernaan yang lemah yang kahirnya menjadi mudah sakit pencernaannya,
contohnya saya yang beberapa kali di opname gegara masalah lambung. Orang tua
saya sendiri yang akhirnya menyesal dan mengatakan pada anaknya agar jangan
terlalu cepat memberi bubur bayi kepada anak. Tetapi saya memilih untuk tidak menyalahkan
orang tua, tetapi menjaga pola makan saya.
Berikutnya
setelah anak bisa memilih sendiri maka semakin banyak peluang dan kemungkinan
yang hilang disaat anak tersebut memilih. Misalnya memilih untuk menonton
televisi daripada main diluar, atau daripada membantu orang tua dirumah atau daripada
belajar. Pilihan ini adalah sebuah algoritma penghapusan kesempatan atau
peluang yang seharusnya bisa dimiliki oleh anak tersebut. Jika kita kaitkan
dalam kebiasaan dan pola pikir (ya seven habitlah stepen R coveylah) sadar
tidak sadar sebenarnya kita melakukannya setiap hari dan ini akan menentukan
kita dapa masa yang akan datang.
Pada tahap yang
lebih tinggi banyak pilihan yang begitu krusial dalam hidup yang mengubah arus
hidup seseorang. Kalau diibaratkan nasib lele ternak dalam hidupnya yang
terselatkan atau bahkan malah mati konyol saat melarikan diri (lepas) saat
sortir atau panen. Kesempatan yang lepas atau didapatkan inilah yang begitu
menentukan hidup. Misal lele yang lepas bisa saja hidup lama karena kesungai
dan bisa sampai tua, tetapi bisa saja mati seketika karena lepas di selokan
yang kering dan empunya kolam tidak sadar. Jika diibaratkan peluang yang besar
dalam hidup. Contoh nyatanya adalah pemilihan Sekolah dan jenis pendidikan
anak. Saya beri contoh diri saya sendiri. Saat umur saya 12 tahun saya sudah
dihadapkan dengan pengambilan keputusan yang krusial. Alhamdulillah saat itu
saya dibimbing oleh Allah. Saat itu saya diminta oleh orang tua untuk tidak
melajutkan sekolah dan menunggu satu tahun baru lanjut sekolah. Anda tak perlu
membayangkan, karena jika anda tidak pernah mengalaminya anda tidak akan tahu
rasanya. Meski saya beritahu sekalipun rasanya bagaimana ketika melihat
tetangga yang juga tidak sekolah satu tahun lalu akhirnya jadi malas sekolah
dan akhirnya putus sekolah, bagimana rasanya melihat teman sebaya sekolah di
sekolah yang keren saat kita dirumah? Saya sendiri tidak bisa merasakannya,
karena saya memilih untuk menentang orang tua dan melanjutkan sekolah. Waktu
ini orang tua saya mengatakan tidak akan diberi uang saku, tidak akan dibiayai.
Saya tenang saja saya mengatakan “kan ada beasiswa”. Dengan semangat inilah
saya masuk ke sekolah yang menurut saya benar-benar mengubah pola pikir saya. Memberi
lebih banyak kenalan, membuka wawasan saya lebih luas. Ada tidak perlu ikut
merasakan bagaimana bahagianya, juga anda tidak perlu menanyakan apakah saya
mendapat kesulitan saat disekolah, apa saya tidak dibully dan sebagainya. Anda
memiliki pengalaman anda sendiri. Anda perlu mensyukuri bagaimana anda memilih
sehingga menjadi anda yang bahagia sekarang.
Semakin
berkurangnya umur, semakin menjadi tuanya kita, semakin kita mendapat banyak
pengalaman hidup. Dari sinilah kita belajar. Banyak teman saya yang mengatakan
belajar dari pengalaman orang lain akan memberikan kita efisiensi waktu yang
tinggi. Tapi, menurut saya tidak demikian. Siapa yang kita jadikan rujukan
dalam mengambil pengalaman darinya itu menentukan kita menjadi siapa, tetapi
tidak memberikan keefisienan waktu. Karena kita memang tidak tahu pegalaman
tersebut sama atau tidak jika diterapkan dalam hidup kita.
Kembali kepada kisah mangga yang saya ceritakan tadi, pada akhirnya manusia
sangat sering menyesal lalu kembali ke pilihan yang awalnya tidak iya pilih.
Namun langkah ini sebenarnya hanya membuang sesuatu yang sudah kita bangun dari
beberapa waktu yang lalu saat kita memilih pilihan yang baru saja kita tinggalkan.
Hingga akhirnya kesempatan kita menjadi sangat sedikit lalu saat umur kita
tinggal diujung senja kita baru menyadari bahwa banyak pilihan yang kita
sesali.
Dari kisah
tersebut yang saya selingi dengan contoh kisah saya sendiri karena saya lupa
bagaimana tokoh ini salah memilih. Tapi yang saya ingin tekankan janganlah
menyesali berlarut larut atas kesalahan apa yang kita lakukan. Karena hal
tersebut hanya menghabiskan waktu yang kita miliki. Saran saya ketika kita
hendak memilih pikirkan dengan sungguh-sungguh dan jalani dengan segenap hati.
Saran saya kepada yang muslim shalat istikharahlah dalam setiap kali gundah
dalam memilih. Dan ingat bertanggung jawab akan konsekuensi atas pilihan
tersebut. Dan bersyukurlah sesiapa orang yang tidak bisa mengambil ulang
kesempatannya yang telah dia tinggalkan, karena akan menjadi semakin yakin
untuk mengusahakan sepenuhnya agar menjadi yang tebaik dalam bidang yang saat
ini diambilnya.
Saya sendiri
mengambil hikmah dari semua pelajaran tersebut diatas dengan cara mengaitkannya
kepada dasar ketauhidan dalam islam mengenai takdir, iman yang terakhir dan
menurut saya iman yang paling sulit untuk dilaksanakan dengan baik. Dimana setiap
diri kita sudah ditetapkan empat hal “Umur, Rejeki, Amal dan Beruntung atau
tidaknya kita” silahkan cari di hadist arbain jika masih ragu (ragu karena ga
ada jodoh ya?). Dalam empat ketentuan itu sudah tertulis di lauhul mahfuzh dan
tidak bisa diubah, hanya bisa dijalani. Tetapi, setelah beberapa kali saya mencari
atas sebuah jawaban dari keraguan, menjuruskan saya kepada tafsir beberapa ayat
di dalam tafsir ibnu katsir. Saya lupa surat dan ayatnya, tetapi inti yang saya
dapat adalah Allah yang akan menanya kepada kita bukan kita yang menanyakan
kepada Allah. Kita tidak bisa protes kepada Allah karena memang semua diatur oleh
Allah. Tetapi Rasulullah mengatakan “beramalah karena Allah mendekatkan manusia
yang beramal kepada kebenaran” dan semacamnya saya jujur sedang lupa redaksinya
tapi dekat-dekat kesini. Akan tetapi, saran saya belajar ke ulama saja biar
lebih ngeh. Saya sendiri mengambil kesimpulan bahwa Allah tidak begitu
merisaukah hasil yang kita dapat tapi besarnya upaya yang kita keluarkan. Jadi
bukan menjadi kaya tujuannya tetapi bekerja atau berbisnis agar diridlai dan
diberkahi rejekinya oleh Allah. Bukan menjadi pintar dan menjadi ahli di
bidangnya tetapi belajar dan berlatih agar Allah melihat amal kita. Jadi bagi
yang mau menyontek saat ujian ya silahkan karena bagi saya Allahlah yang
menilai, bagi saya nilai itu tidaklah penting, usaha saya lebih penting. Walau tetap
orientasi hasil sebagai kerangka perbaikan dalam proses muhasabah.
Pada akhirnya
saya teringat dengan quotes dari ulama besar indonesia Buya Hamka “Jika hidup
hanya sekedar hidup, Babi hutan juga hidup. Jika Kerja hanya sekedar kerja,
Kera di hutan juga bekerja”
Maka tentukan
visi hidup anda, jangan hanya sekedar hidup. Sepertinya saya juga tidak perlu
memberi tahu visi hidup saya anda sudah mengetahuinya. Namun jangan phobia saya
belum pernah membunuh orang. Berkelahi liar juga cuman beberapa kali dan bukan
saya yang mengawali. Jika adu argumentasi jangan saran saya karena saya cukup gila
jika sudah melayani adu argumentasi. Diskusi sewajarnya saja.
Bandungnya Allah,
24 Januari 2017
Ganong Luki
Subandi
Hari ini saya
ingin sekali menulis bebas, seperti saran dari seorang bloger yang sudahterkenal. Beliau mengatakan hanya dengan kerja keras dan konsistensi (ikhsan
dan istiqamah) cukup dengan dua itu kita pasti bisa jadi blogger terkenal.
Dalam pendapat saya kita bisa menjadi ahli dibidang apapun, ya apapunnya bukan
kita bisa semuanya tapi bisa satu keahlian apapun itu asal konsisten dan
sungguh-sungguh. Lalu yang menjaga kita agar tetap konsisten dan bekerja keras terus
menerus adalan visi, pandangan kita kedepan kita ingin menjadi apa. Jujur visi
hidup saya ini sederhana, menghidupkan agama Allah. Menjadi penyambung risalah
yang dibawakan rasulullah. Ya, islamisme sudah begitu mengental dalam pola
berfikir saya. Tapi jangan takut saya bukan tipe orang yang suka bom-mengebom,
apalagi bom bunih diri, orang bunuh diri saja sudah dosa besar dan pasti masuk
neraka kan.
Namun, sedari
dulu saya sadar dalam rangka mewujudkan visi saya ini memang tidak bisa dalam
sekejap. Bahkan bisa jadi sampai tiga generasi keturunan saya baru bisa
terwujud mimpi saya tersebut. Namun, hasil dari amal (perbuatan) saya itu
tidaklah penting dimata Allah, proses yang lebih penting. Jika anda ragu dengan
pola pikir saya cari saja dasar logikanya banyak ayat Al Quran dan sunnah
rasulullah yang mendasarinya. Tapi memang hasil adalah kerangka muhasabah,
apakah langkah saya sudah benar atau masih keliru. Sama seperti yang dikatakan
sholahudin al ayubi “seberapa banyak orang sebelumku yang melakukan pembebasan
ini? dan seberapa banyak yang berhasil?” Sholahudin melakukan pembebasan
palestina (baitul maqdis) itu dengan penuh persiapan mulai dari pembenahan
pemerintah, pembenahan akhlak masyarakatnya, dan pelatihan militer yang begitu
bersungguh-sungguh, mempelajari strategy dan taktik perang khalid ibn walid, ya
semuanya perlu persiapan yang matang lah.
Berikutnya mari kita tinjau mengenai opportunity cost, atau opportuity
lost. Setelah saya baca di blog seorang yang juga saya kira sudah terkenal di
dunia perblogan di indonesia. Jika kita baca dengan seksama memang dasarnya
hidup kita ini penuh dengan opportunity cost tersebut. Kalau saya sendiri
menyatakannya dalam frasa “hidup adalah pilihan”. Pernah saya membaca sebuah
manga yang saya lupa judulnya, yang pelajaran dari ceritanya seperti ini.
Bahwa seorang
manusia hidup itu penuh dengan pilihan. Pada awalnya manusia memiliki
kemungkinan yang jumlahnya tak terhingga, jumlah yang tak terhingga ini membuat
manusia tersebut memiliki masa depan yang tak terhingga. Jadi kalau dibilang
seseorang orang ini (saat baru lahir) akan sukses dan menjadi orang ter ter (terkaya
misalnya) sedunia bisa saja. Namun, semua kemungkinan ini semakin sedikit
ketika si orang tua memilihkan sesuatu untuk anaknya. Semua hal ini terjadi
karena orang tua memilihkan satu dari dua atau beberapa kemungkinan. Misal,
contoh kasusnya memberikan bubur instan kepada bayi ( kalau jaman dulu pisang )
saat anak belum sampai umur 3 bulan, hal ini membuat anak memiliki sistem
pencernaan yang lemah yang kahirnya menjadi mudah sakit pencernaannya,
contohnya saya yang beberapa kali di opname gegara masalah lambung. Orang tua
saya sendiri yang akhirnya menyesal dan mengatakan pada anaknya agar jangan
terlalu cepat memberi bubur bayi kepada anak. Tetapi saya memilih untuk tidak menyalahkan
orang tua, tetapi menjaga pola makan saya.
Berikutnya
setelah anak bisa memilih sendiri maka semakin banyak peluang dan kemungkinan
yang hilang disaat anak tersebut memilih. Misalnya memilih untuk menonton
televisi daripada main diluar, atau daripada membantu orang tua dirumah atau daripada
belajar. Pilihan ini adalah sebuah algoritma penghapusan kesempatan atau
peluang yang seharusnya bisa dimiliki oleh anak tersebut. Jika kita kaitkan
dalam kebiasaan dan pola pikir (ya seven habitlah stepen R coveylah) sadar
tidak sadar sebenarnya kita melakukannya setiap hari dan ini akan menentukan
kita dapa masa yang akan datang.
Pada tahap yang
lebih tinggi banyak pilihan yang begitu krusial dalam hidup yang mengubah arus
hidup seseorang. Kalau diibaratkan nasib lele ternak dalam hidupnya yang
terselatkan atau bahkan malah mati konyol saat melarikan diri (lepas) saat
sortir atau panen. Kesempatan yang lepas atau didapatkan inilah yang begitu
menentukan hidup. Misal lele yang lepas bisa saja hidup lama karena kesungai
dan bisa sampai tua, tetapi bisa saja mati seketika karena lepas di selokan
yang kering dan empunya kolam tidak sadar. Jika diibaratkan peluang yang besar
dalam hidup. Contoh nyatanya adalah pemilihan Sekolah dan jenis pendidikan
anak. Saya beri contoh diri saya sendiri. Saat umur saya 12 tahun saya sudah
dihadapkan dengan pengambilan keputusan yang krusial. Alhamdulillah saat itu
saya dibimbing oleh Allah. Saat itu saya diminta oleh orang tua untuk tidak
melajutkan sekolah dan menunggu satu tahun baru lanjut sekolah. Anda tak perlu
membayangkan, karena jika anda tidak pernah mengalaminya anda tidak akan tahu
rasanya. Meski saya beritahu sekalipun rasanya bagaimana ketika melihat
tetangga yang juga tidak sekolah satu tahun lalu akhirnya jadi malas sekolah
dan akhirnya putus sekolah, bagimana rasanya melihat teman sebaya sekolah di
sekolah yang keren saat kita dirumah? Saya sendiri tidak bisa merasakannya,
karena saya memilih untuk menentang orang tua dan melanjutkan sekolah. Waktu
ini orang tua saya mengatakan tidak akan diberi uang saku, tidak akan dibiayai.
Saya tenang saja saya mengatakan “kan ada beasiswa”. Dengan semangat inilah
saya masuk ke sekolah yang menurut saya benar-benar mengubah pola pikir saya. Memberi
lebih banyak kenalan, membuka wawasan saya lebih luas. Ada tidak perlu ikut
merasakan bagaimana bahagianya, juga anda tidak perlu menanyakan apakah saya
mendapat kesulitan saat disekolah, apa saya tidak dibully dan sebagainya. Anda
memiliki pengalaman anda sendiri. Anda perlu mensyukuri bagaimana anda memilih
sehingga menjadi anda yang bahagia sekarang.
Semakin
berkurangnya umur, semakin menjadi tuanya kita, semakin kita mendapat banyak
pengalaman hidup. Dari sinilah kita belajar. Banyak teman saya yang mengatakan
belajar dari pengalaman orang lain akan memberikan kita efisiensi waktu yang
tinggi. Tapi, menurut saya tidak demikian. Siapa yang kita jadikan rujukan
dalam mengambil pengalaman darinya itu menentukan kita menjadi siapa, tetapi
tidak memberikan keefisienan waktu. Karena kita memang tidak tahu pegalaman
tersebut sama atau tidak jika diterapkan dalam hidup kita.
Kembali kepada kisah mangga yang saya ceritakan tadi, pada akhirnya manusia
sangat sering menyesal lalu kembali ke pilihan yang awalnya tidak iya pilih.
Namun langkah ini sebenarnya hanya membuang sesuatu yang sudah kita bangun dari
beberapa waktu yang lalu saat kita memilih pilihan yang baru saja kita tinggalkan.
Hingga akhirnya kesempatan kita menjadi sangat sedikit lalu saat umur kita
tinggal diujung senja kita baru menyadari bahwa banyak pilihan yang kita
sesali.
Dari kisah
tersebut yang saya selingi dengan contoh kisah saya sendiri karena saya lupa
bagaimana tokoh ini salah memilih. Tapi yang saya ingin tekankan janganlah
menyesali berlarut larut atas kesalahan apa yang kita lakukan. Karena hal
tersebut hanya menghabiskan waktu yang kita miliki. Saran saya ketika kita
hendak memilih pikirkan dengan sungguh-sungguh dan jalani dengan segenap hati.
Saran saya kepada yang muslim shalat istikharahlah dalam setiap kali gundah
dalam memilih. Dan ingat bertanggung jawab akan konsekuensi atas pilihan
tersebut. Dan bersyukurlah sesiapa orang yang tidak bisa mengambil ulang
kesempatannya yang telah dia tinggalkan, karena akan menjadi semakin yakin
untuk mengusahakan sepenuhnya agar menjadi yang tebaik dalam bidang yang saat
ini diambilnya.
Saya sendiri
mengambil hikmah dari semua pelajaran tersebut diatas dengan cara mengaitkannya
kepada dasar ketauhidan dalam islam mengenai takdir, iman yang terakhir dan
menurut saya iman yang paling sulit untuk dilaksanakan dengan baik. Dimana setiap
diri kita sudah ditetapkan empat hal “Umur, Rejeki, Amal dan Beruntung atau
tidaknya kita” silahkan cari di hadist arbain jika masih ragu (ragu karena ga
ada jodoh ya?). Dalam empat ketentuan itu sudah tertulis di lauhul mahfuzh dan
tidak bisa diubah, hanya bisa dijalani. Tetapi, setelah beberapa kali saya mencari
atas sebuah jawaban dari keraguan, menjuruskan saya kepada tafsir beberapa ayat
di dalam tafsir ibnu katsir. Saya lupa surat dan ayatnya, tetapi inti yang saya
dapat adalah Allah yang akan menanya kepada kita bukan kita yang menanyakan
kepada Allah. Kita tidak bisa protes kepada Allah karena memang semua diatur oleh
Allah. Tetapi Rasulullah mengatakan “beramalah karena Allah mendekatkan manusia
yang beramal kepada kebenaran” dan semacamnya saya jujur sedang lupa redaksinya
tapi dekat-dekat kesini. Akan tetapi, saran saya belajar ke ulama saja biar
lebih ngeh. Saya sendiri mengambil kesimpulan bahwa Allah tidak begitu
merisaukah hasil yang kita dapat tapi besarnya upaya yang kita keluarkan. Jadi
bukan menjadi kaya tujuannya tetapi bekerja atau berbisnis agar diridlai dan
diberkahi rejekinya oleh Allah. Bukan menjadi pintar dan menjadi ahli di
bidangnya tetapi belajar dan berlatih agar Allah melihat amal kita. Jadi bagi
yang mau menyontek saat ujian ya silahkan karena bagi saya Allahlah yang
menilai, bagi saya nilai itu tidaklah penting, usaha saya lebih penting. Walau tetap
orientasi hasil sebagai kerangka perbaikan dalam proses muhasabah.
Pada akhirnya
saya teringat dengan quotes dari ulama besar indonesia Buya Hamka “Jika hidup
hanya sekedar hidup, Babi hutan juga hidup. Jika Kerja hanya sekedar kerja,
Kera di hutan juga bekerja”
Maka tentukan
visi hidup anda, jangan hanya sekedar hidup. Sepertinya saya juga tidak perlu
memberi tahu visi hidup saya anda sudah mengetahuinya. Namun jangan phobia saya
belum pernah membunuh orang. Berkelahi liar juga cuman beberapa kali dan bukan
saya yang mengawali. Jika adu argumentasi jangan saran saya karena saya cukup gila
jika sudah melayani adu argumentasi. Diskusi sewajarnya saja.
Bandungnya Allah,
24 Januari 2017
Ganong Luki
Subandi
Komentar